Sepotong Waffle Belgia (Remahan 1)

Haydar Ali Ismail
6 min readOct 3, 2018
Gak pernah makan waffle yang kayak gini sih, mahal :(

Sudah hampir 1 bulan melalui perjalanan hidup di negeri orang, time for story telling!

Biasanya nulis cerita pakai Bahasa Inggris, tapi aku rasa beberapa cerita ke depan akan lebih pantas untuk kupersembahkan untuk orang-orang Indonesia, pergi keluar negeri tidak membuatmu enggan pulang ke Indonesia, justru pengalaman seperti ini akan membuka pandangan hidup kalian.

Singkat Cerita

Secara kebetulan, aku keterima di salah satu konsorsium dari program Erasmus yaitu Erasmus BDMA (aku sampai sekarang masih mikir, mereka gak salah ngirim email penerimaan ke aku kan?). Cerita mengenai proses daftar dan tantangan dalam daftar bakal ditulis di lain cerita.

Overview

Sebenarnya negeri ini lebih identik sama bir-nya sih, bayangin aja tiap ikut Walking Tour di kota manapun selalu disuguhin dengan cerita betapa enaknya bir yang ada di Belgia. Tapi tak apa, ku-masih bisa makan waffle sama coklatnya yang tak kalah enak. Oh ya, kali ini aku menetap di Brussels, setelah sekian lama nggak pernah hidup di ibu kota, akhirnya merasakan hidup di ibu kota (nggak serame Jakarta kok).

Bahasa

Papan arah bilingual (sumber: Wikipedia)

Terletak di antara Prancis, Belanda, dan Jerman, negara ini mempunyai 3 bahasa resmi: Prancis, Belanda, dan Jerman (hanya digunakan di sebagian kecil area di tenggara Belgia). Hal yang cukup kompleks dihadapi Brussels sebagai ibu kota. Karena ada 2 bahasa utama yang digunakan, mau tidak mau Brussels harus berlaku adil, sehingga Brussels ditetapkan sebagai area bilingual (Prancis-Belanda). Tapi pada kenyataannya, meskipun berada di area berbahasa Belanda (Flanders) dan sudah ditetapkan sebagai area bilingual, tetapi Brussels lebih banyak menggunakan Bahasa Prancis. Jadi kalau “kata” tour guide yang nemenin aku walking tour, kalau diurutkan sesuai tingkat intensitas penggunaannya di Brussels:

  1. Bahasa Prancis

Pasti kalian bisa nebak yang nomor 2…

2. Ya… Bahasa Inggris

3. Baru Bahasa Belanda

Penggunaan bahasa digunakan di rumah di Brussels pada tahun 2006. Biru: Prancis, Merah: Bahasa selain Prancis dan Belanda, Ungu: Prancis dan bahasa lain selain Belanda, Biru Muda: Prancis dan Belanda, Hijau: Belanda (sumber: Wikipedia)

Rupanya pengguna Bahasa Belanda di Brussels semakin terkikis, bahkan tersalip oleh pengguna Bahasa Inggris, tapi menurut salah satu thread di reddit, masih ada beberapa kelompok orang yang “maksa” menggunakan Bahasa Belanda di Brussels.

Nah buat kalian yang nggak bisa Bahasa Prancis maupun Belanda, jangan khawatir. Sebagian orang sini masih bisa Bahasa Inggris kok, cuma ya gitu deh 😂. Tapi serius, kalian masih bisa hidup dengan modal Bahasa Inggris (saya saksi hidup). Papan-papan pengumuman di Brussels biasanya tulisannya bilingual Bahasa Prancis-Belanda, dan kadang ada Bahasa Inggris-nya juga.

Penduduk Brussels

Orang Belgia lumayan ramah, beberapa kali disapa sama orang random, entah tiba-tiba disapa Bonjour atau waktu makan ada orang lewat ngomong Bon Appetite. Bahkan di hari pertama datang waktu bawa koper 30kg turun tangga stasiun trem (elevatornya rusak ☹️) juga ada orang tiba-tiba nawarin bantuin bawa sampai bawah tangga. Tapi harus siaga juga sih, ada beberapa tempat yang rawan copet dan kejahatan.

Salah satu alasannya karena orang homeless di sini lumayan banyak, tiap jalan ke kampus pasti minimal liat 1 orang minta-minta di salah satu sudut deket bank. Pernah juga ada yang mau minjem charger di halte bis (mau nyolok di mana juga), tapi gak tau sih itu orang ada niatan jahat apa gak. Dan yang baru aja kejadian kemarin banget ada orang minta-minta ke orang yang baru makan burger sama kentang, sama orang yang makan ditawarin kentang, orang minta-minta-nya gak mau, terus minta burgernya. Ini orang dikasih ati ngerogoh rempelo banget sih.

Di sini orangnya dari beragam etnis, jadi hal umum kalau baru jalan-jalan terus ada yang muka bule, ada yang jilaban, ada yang kulit coklat, dan lain sebagainya.

Makanan

Buat yang muslim, biasanya pertanyaan paling pertama adalah, “Nyari makanan halal gampang gak?”. Yang cukup mengejutkan ternyata jauh lebih gampang nyari makanan halal di sini daripada waktu di Taiwan padahal jauh lebih banyak orang Indonesia Muslim di Taiwan, tapi mungkin karena sini deket sama timur tengah sih. Kebab ada dimana-mana terus supermarket di kawasan muslim juga relatif terjangkau secara jarak dan biaya (soal biaya transportasi nanti dibahas lain kali). Tapi ya harus masak karena harga makanan di sini mahal, kebab aja 4.5 Euro. Mau beasiswanya sebanyak apapun, kalau 4.5 Euro tiap kali makan pasti bangkrut.

Mobil yang muter-muter jualan waffle sama es krim juga kadang bisa ditemui di beberapa tempat, harganya pun gak terlalu mahal, biasanya 2 Euro kalau polosan, tapi kalau nambah topping harus nambah 50 sen sampai 1 Euro tergantung toppingnya. Di sini roti, susu, dan kentang relatif murah, jadi kalau mau irit bisa melirik makanan-makanan ini.

Oh ya, nyari rice cooker susah banget di sini. Cuma beberapa toko aja yang punya, tapi aku akhirnya nemu dan beli di tempat yang mahal, seminggu setelahnya nemu tempat lain yang jual juga dengan harga lebih murah 😭. Jadi kalau kamu harus makan pakai nasi, tenang aja kamu tetep bisa, tapi ya agak repot aja nyarinya.

Kampus

Kampus ULB Solbosch

Di sini aku belajarnya di ULB, di ULB setauku nggak ada orang Indonesia sama sekali selain yang ikut di program BDMA ini. Kebanyakan orang Indonesia belajarnya di VUB, yang cuma jarak sekitar 1 km dari kampus ULB. Dulunya ULB sama VUB ini satu kampus, tapi karena politik Flanders dan Wallonia (kapan-kapan kuceritain deh), akhirnya dipisah.

Suasana ruang kelas

Kampusnya nggak kerasa jadul banget, tapi nggak terlalu modern juga. Jadi yang biasanya ngeluh kampus MIPA UGM sebelum pindah ke gedung baru itu jelek, nyatanya pergi jauh-jauh ke negera lain juga kayak gini kok bangunannya 😂. Ruang kelasnya pun nggak jauh beda dengan ruang kelas di kampus-kampus di Indonesia. Tapi yang membedakan adalah…

Yup, orang-orang di sini kalau pas kuliah ya bener-bener merhatiin (tapi yang gak merhatiin juga ada sih). Sekali meleng buka hape bentar aja, udah bisa ketinggalan 1 bahasan, boro-boro buka hape, kadang aja sambil nulis catatan bisa bikin ketinggalan dengerin bahasannya. Terus orang di sini cukup aktif, jadi kalau emang nggak tau langsung tanya nyela dosennya, pertanyaan sekonyol apapun, dosennya pasti akan mencoba menjawab secara professional. Kalau dosennya nanya, juga malah pada berlomba-lomba angkat tangan buat njawab, kalau di Indonesia kan malah pada males kalau ditunjuk suruh njawab. Bahkan ketika kelas dibubarkan, segerombolan mahasiswa selalu antri mau nanya ke dosen tentang sesuatu yang mereka nggak paham. Soal keaktifan mahasiswa di kelas beda banget deh sama di Indonesia.

Professor tamu dari Bologna

Hampir semua mata kuliah ada sesi tertentu yang diajar oleh pihak eksternal, entah ada dosen tamu dari kampus lain, atau tamu industri yang bakal ngisi. Minggu lalu salah satu kelas kita baru kedatangan dosen tamu dari Bologna selama seminggu penuh, ngajarnya bagus banget sampe hampir semua mahasiswa berharap dosen tamunya aja yang ngajar terus sampai akhir semester (maaf ya Prof 🙏🏼, tapi beneran bagusan professor tamunya kalau ngajar, lebih bikin paham).

Tutup Kata

Keluar dari Asia artinya keluar dari zona nyamanku. Awal dateng ke sini sempet homesick karena selalu bingung mau makan apa, tapi sebulan di sini dan dengan sedikit sihir dari kehadiran rice cooker, udah bikin aku nyaman di sini. Suasana kuliahnya pun benar-benar berbeda dibanding suasana ketika di Indonesia ataupun di Taiwan, meskipun belum tau sekompetitif apa mahasiswa-mahasiwanya, tapi aku sangat bahagia bisa belajar bersama mahasiswa-mahasiswa yang aktif! Brussels dan Belgia mungkin bukan tempat paling nyaman yang pernah aku tinggali, tapi tempat ini memang pantas menyandang istilah Capital of Europe. Au revoir!

--

--