Perjuangan 2 tahun mendaftar universitas dan beasiswa ke Eropa (Tahun Pertama)

Haydar Ali Ismail
9 min readNov 11, 2018
Glasgow University, padahal saya gak daftar ke UK sama sekali

Kalendar sudah menunjukkan bulan November, sudah masanya pejuang beasiswa mulai bersiap mendaftar ke kampus impiannya. Biasanya artikel beasiswa itu nyeritain saat keterimanya, kebetulan saya sendiri gak langsung diterima ke kampus dan beasiswa yang saya impikan, oleh karena itu saya mencoba menceritakan pengalaman saya saat mencari beasiswa, kesalahan-kesalahan yang saya buat selama 2 tahun itu, dan mungkin sedikit tips dan trik.

IELTS

Di awal persiapan, saya langsung membuat kesalahan saat mengambil IELTS. Waktu itu saya sidang skripsi bulan Juni 2016, ngurus berkas yudisium bulan Juli, dan akhirnya wisuda bulan Agustus. Karena saya sama sekali belum persiapan, akhirnya saya waktu itu baru berani ambil IELTS untuk tanggal 24 September.

Kesalahan yang saya akui dan bakal saya ubah kalau saya bisa memutar balik waktu itu adalah mempersiapkan IELTS jauh sebelum wisuda. IELTS itu gak bisa disiapin dadakan, terus karena bayarnya mahal kalau sampai nilainya gak sesuai harapan, uang terbuang sia-sia. Dan seharusnya di bulan September itu saya bisa fokus mempersiapkan berkas dokumen, tapi malah nyiapin IELTS. Kalau saya bisa ulangi waktu, saya akan mempersiapkan IELTS paling tidak 2–3 bulan sebelum tes, dan mungkin saya akan ambil tes di bulan Agustus. Karena sejujurnya bulan Agustus saya sudah gabut dari ngurus skripsi dan wisuda, tapi waktu terbuang sia-sia. Hasil keluar cukup cepet, 13 hari setelah tes, tapi tetep aja namanya waktu terbuang ya terbuang padahal harusnya dari bulan September saya udah bisa nyiapin berkas untuk daftar universitas.

FAQs:

Q: IELTS atau TOEFL?

A: Sama aja, kebetulan aja tahun sebelumnya pacar udah ambil IELTS jadi ikutan ambil IELTS juga. Alasannya biar gak perlu mempelajari format ujiannya lagi, terus buku-buku yang buat belajar juga dilungsurin ke saya. Kalau kata salah satu temen yang dah pernah nyoba keduanya, gampangan TOEFL, tapi seharusnya sama aja kok. Saran aja sih, kalau pas milih coba cek temen-temen pada ambil TOEFL atau IELTS, pilih yang paling populer, biar kamu bisa diskusi sama temen-temen pas belajar IELTS atau TOEFL.

Tempat rencana ambil kuliah juga harus jadi pertimbangan. Kalau misal kamu mau daftar kuliah di Amerika Serika, lebih baik ambil TOEFL dan kalau misal mau daftar kuliah di Inggris, Australia, dan New Zealand lebih baik ambil IELTS. Itu preferensi dari institusi dari negara-negara itu aja sih. Waktu itu sempet liat-liat berkas buat daftar AMINEF buat sekolah ke Amerika Serikat, walaupun mereka nerima berkas di awal pake IELTS, tapi kalau misalkan saya keterima AMINEF, dia bakal minta saya ambil tes TOEFL ulang (dibayarin mereka), walaupun dibayarin tapi daripada tes 2 kali? Mendingan dari awal langsung ambil yang sesuai tempat tujuan. Kalau gak buat daftar ke negara yang saya sebutin di atas, mereka gak ada preferensi kok.

Q: Daftar kuliah pakai TOEFL paper-based/TOEFL PBT/TOEFL like/TOEFL ITP boleh gak?

A: Jawabannya “tidak boleh” dan “boleh”. Jadi sebenarnya TOEFL sebagai institusi penyelenggara sudah meniadakan TOEFL paper-based (PBT) di Indonesia dan digantikan dengan TOEFL internet-based (IBT). Nah, kalau kamu melihat informasi tentang tes TOEFL yang paper-based (biasanya harganya kisaran 50 ribu sampai 250 ribu rupiah) itu sebenarnya adalah TOEFL like. Jadi mudahnya TOEFL like/TOEFL paper-based itu kayak semacam try out tes gitu untuk ngecek kemampuan kita.

Kalau TOEFL ITP, itu sebenarnya salah pemahaman di masyarakat aja sih, tapi biasanya institusi yang ngadain TOEFL ITP juga gak berusaha mbenerin salah kaprah ini. ITP itu kepanjangannya Institutional Testing Program, jadi seharusnya hasil dari tes ini cuma berlaku di institusi di mana kamu ngambil tes. Cuma banyak orang yang nganggep ini setara sama IBT.

Kedua tes yang saya sebut di atas itu kebanyakan universitas luar negeri gak akan nerima jadi jangan diambil (kecuali kalau cuma mau tes kemampuan aja). Nanti harusnya kita ambil tesnya yang beneran, harganya sekitar 2.7 juta rupiah sampai 3 jutaan tergantung kurs rupiah terhadap dollar. Mahal? Yup, tapi cuma ini TOEFL/IELTS yang diterima oleh semua institusi.

Terus kapan “boleh”nya? Bolehnya kalau kamu berencana daftar di negara-negara Asia (contoh: Jepang, Taiwan), mereka biasanya masih nerima misal dikasih hasil TOEFL-like atau TOEFL ITP. Tapi tetep gak jaminan sih dan lebih baik pastiin lagi atau ambil TOEFL IBT/IELTS yang jelas di terima. Ada cerita temen saya yang dia gak jadi berangkat (padahal udah dapet Professor 😭) ke TokyoTech hanya gara-gara dia cuma punya TOEFL ITP.

Surat Rekomendasi

Ini kesalahan kedua saya di tahun ini. Saya gak terlalu deket dengan dosen pembimbing akademis saya, jadinya saya cuma deket sama dosen pembimbing skripsi. Padahal, kebanyakan universitas meminta paling tidak 2 surat rekomendasi. Akhirnya nyari yang kedua ini susah, harus mulai ndeketin dosen lain. Lalu juga minta surat rekomendasi ke dosen itu gak instan, bisa berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan kalau apes dosennya lupa bikinin 😅. Jadi tolong kalau nyari surat rekomendasi jauh-jauh hari ya!

FAQs:

Q: Kalau minta surat rekomendasi dari dekan atau wakil dekan boleh?

A: Boleh, tapi yang akan mereview aplikasimu bisa bedain mana surat rekomendasi yang personal dan customized karena emang kenal dengan kamu atau surat rekomendasi yang cuma template. Jadi saranku usahain minta dari dosen yang dikenal, soalnya kalau kontennya template, kemungkinan kamu diterima kecil. Jabatan gak begitu ngaruh, yang ngaruh itu seberapa kenal si dosen dengan kamu dan H-index dari dosen itu.

Paspor

Ini bener-bener tahun banyak kesalahan. Jadi ceritanya waktu itu udah mau submit berkas daftar di bulan November, nah ketika saya baca ulang ketentuan berkas dengan seksama dan ngecek masa berlaku pasporku ternyata masa berlaku pasporku cuma sampe bulan Agustus tahun depan. Perlu diingat bahwa mereka biasanya minimal minta paspor masih berlaku sampai 1 tahun setelah tahun ajaran dimulai, soalnya waktu tahun kedua kamu bisa perpanjang paspor di negara tujuan.

Jadi alangkah lebih baik, bahkan sebelum daftar-daftar sempetin cek paspor dan perpanjang kalau masa berlakunya kurang dari 2 tahun buat ngehindarin kayak gini. Saya ngehabisin sekitar 10 hari untuk perpanjang, gak terlalu lama, tapi buang-buang waktu. Kalau baru bikin paspor, bisa lebih lama dari ini.

Riset Daftar Kampus

Dulu saya punya Google Sheet yang isinya daftar kampus yang pengen saya daftar, terus disitu catat semua hal yang penting, misal: deadline, syarat-syarat yang gak standar (misalnya mintanya motivation letter yang topiknya gak standar), syarat TOEFL/IELTS, biaya pendaftaran, dan lain-lain. Di situ kita bisa ngeliat mana aja yang bisa kita daftar dan mempermudah kalau mau melihat progress daftar kita secara keseluruhan.

Motivation Letter

Ini bagian tersusah, tahun pertama bikin motivation letter kelewat ngebut, cuma sekitar sebulan hanya dengan berbekal liat contoh-contoh di online, sedikit review dari teman yang dah pernah diterima beasiswa dan pacar lalu dikumpulkan. Penyesalan saya di bagian ini adalah seharusnya dokumen ini dipersiapkan dengan lebih sungguh-sungguh dan tentunya lebih lama prosesnya. Nanti di bagian kedua akan saya ceritakan bagaimana saya memperbaiki aplikasi saya terutama di motivation letter karena saya merasa ini faktor utama bisa diterimanya saya di tahun kedua.

Daftar Universitas: TU/e (Eindhoven University of Technology)

Berkas yang diminta sama kampus ini waktu itu cukup standar sih. Cuma berbekal ijazah, transkrip, motivation letter, surat rekomendasi, CV, daftar deskripsi mata kuliah yang pernah diambil, dan bayar biaya pendaftaran aja. TU/e juga nyediain beasiswa namanya Amandus H. Lundqvist Scholarship Program (ALSP). Semua yang daftar ke TU/e sebelum bulan Februari (kalau gak salah), bisa daftar beasiswa ini. Daftar beasiswa maupun tidak, tidak ada perbedaan dalam berkas yang harus dikumpulkan. Waktu itu kalau biaya daftarnya 100€.

Daftar Universitas dan Beasiswa: Aarhus University dan Danish State Strategic Scholarship

Waktu itu nemu artikel http://indonesiamengglobal.com/2016/05/kuliah-di-aarhus-university-dengan-strategic-scholarship/ dan kemudian tertarik nyoba. Pesan dari saya sih ini cuma buang-buang uang pendaftaran. Karena cuma ada 50 awardees dari seluruh dunia, dan semua orang yang daftar kuliah ke Denmark dari luar EU akan secara otomatis masuk ke proses beasiswa ini. Jadi misalkan kamu anak konglomerat, yang bisa sekolah di Amerika Serikat dari S1, S2, bahkan sampai S3 dengan bayar sendiri, kamu bakal tetap diikutkan ke seleksi beasiswa ini. Kalau gak salah waktu dulu nanya penulis artikel di atas, setahun sebelum saya daftar cuma ada 1 orang Indonesia di antara 50 awardee itu, jadi peluangnya kecil banget. Dokumen yang dikumpulin pun murni cuma ijazah, transkrip, penjelasan matakuliah dari kampus asal, dan bayar biaya pendaftaran aja jadi gak bisa menarik perhatian komite dengan motivation letter atau surat rekomendasi. Kayaknya yang bisa keterima cuma yang IPK-nya 4.00 🤣. Tapi kalau mau nyoba silahkan saja dicoba, gak ada salahnya kok! Biaya pendaftaran waktu itu 900kr.

Oh ya, dokumen matakuliah ini juga agak ribet, harus nanya ke pihak kampus asal dan ternyata gak punya 😢, terus akhirnya saya minta ke salah satu dosen pengurus program studi dicetak terus dilegalisir. Proses legalisir waktu itu juga ribet, harus ke ketua program studi, ketua jurusan, terus ke dekanat, saya habis hampir 2 minggu cuma buat ngurus ini, tapi gak papa sih karena di tahun kedua ini saya pakai juga.

Daftar Beasiswa: StuNed

Untuk proses pendaftaran yang ini sedikit lebih ribet dari beasiswa-beasiswa yang udah saya daftar sebelumnya. Jadi karena waktu itu saya udah bekerja, saya diminta bukti dan surat rekomendasi dari employer saya. Ini juga susah-susah-gampang untuk minta surat rekomendasi, karena employer harus menceritakan keuntungan bagi perusahaan ketika saya diterima sebagai awardee di beasiswa ini. Terus kalau punya publikasi juga bisa dimasukin di sini. Di luar berkas opsional yang saya sebutkan barusan, gak ada perbedaan berarti. Oh ya, untuk bisa daftar StuNed harus udah punya Letter of Acceptance (LoA) dari kampus tujuan.

Hasil

Yak, dan waktu pun bergulir dan saya secara bertahap menerima hasil dari semua aplikasi yang saya sudah masukkan. Untuk universitas, baik TU/e maupun Aarhus University memberikan saya LoA (TU/e ngasih LoA sekitar 2 bulan setelah daftar, Aarhus University di bulan Maret), tetapi sayangnya keduanya tidak memberikan saya beasiswa. Lalu dag dig pun bergulir sampai bulan Juni, sembari menanti hasil StuNed. Dan… saya gak keterima juga 😭. Berat menerima situasi waktu itu, karena merasa harusnya bisa keterima tapi gak keterima. Walaupun sebenarnya saya udah punya backup plan yaitu udah keterima di universitas di Taiwan juga. But, that’s a completely new topic.

Hikmah utama dari setahun awal ini adalah jangan terlalu pede, universitas-universitas di Eropa termasuk cukup mudah ngasih LoA, apalagi kalau cumlaude dan dari universitas terkenal di Indonesia (nanti ada cerita saya bahkan gak dapet LoA di tahun kedua), jadi jangan ngerasa udah bakal mudah dapet beasiswa misal udah dapet LoA karena saingan-saingan kalian banyak yang juga dapet LoA. Terus saya cuma daftar ke sedikit kampus, harusnya saya beranikan lebih untuk daftar ke lebih banyak kampus. Waktu itu masih terlalu idealis, karena pengennya bisa kuliah di TU/e.

Mungkin ada yang mikir, kenapa saya gak daftar LPDP? Bukannya gak pengen, tapi waktu itu LPDP pas masa transisi yang dari seleksi 4 kali dalam setahun cuma jadi 1 kali dalam setahun. Makanya waktu itu gak daftar karena emang LPDP gak buka pendaftaran.

Cerita bersambung ke tahun kedua… (soon)

--

--